Wahana TV | Pahlawan Afrika Selatan yang selama ini menjadi raksasa perjuangan melawan apartheid, Desmond Tutu tutup usia di Cape Town, Minggu (26/12/2021).
Apartheid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990.
Baca Juga:
Jerman Undang Negara - Negara Ini ke KTT G7, Termasuk Indonesia
Tutu yang menjadi uskup kulit hitam pertama di Afrika Selatan meninggal pada usia 90 tahun.
Selain di Afrika Selatan, Tutu juga terpilih menjadi Uskup Agung untuk Botswana, Namibia, Swaziland, dan Lesotho.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengungkapkan, meninggalnya uskup agung emeritus Desmond Tutu adalah bagian lain dari duka, dalam perpisahan masyarakat Afrika Selatan dengan generasi yang luar biasa.
Baca Juga:
Ditemukan, Laser Luar Angkasa Sinari Bumi dari Jarak 5 Miliar Tahun Cahaya
Tutu yang menjadi uskup kulit hitam pertama di Afrika Selatan meninggal pada usia 90 tahun.
Selain di Afrika Selatan, Tutu juga terpilih menjadi Uskup Agung untuk Botswana, Namibia, Swaziland, dan Lesotho.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengungkapkan, meninggalnya uskup agung emeritus Desmond Tutu adalah bagian lain dari duka, dalam perpisahan masyarakat Afrika Selatan dengan generasi yang luar biasa.
Tutu didiagnosis menderita kanker prostat pada akhir 1990-an. Dalam beberapa tahun terakhir ia dirawat di rumah sakit beberapa kali untuk mengobati infeksi yang terkait dengan perawatannya.
“Akhirnya, pada usia 90 tahun, dia meninggal dengan tenang di Oasis Frail Care Center di Cape Town pagi ini,” Dr Mamphela Ramphele, penjabat ketua Uskup Agung Desmond Tutu IP Trust dan koordinator kantor uskup agung.
Tetapi Dr Mamphela Ramphele tidak memberikan rincian tentang penyebab kematian.
Tutu lahir di Klerksdorp, sebuah kota pertanian 100 mil (160km) barat daya Johannesburg.
Keadaan kedua orangtuanya seorang kepala sekolah dan pembantu rumah tangga yang sakit-sakitan tidak menghambat cita-citanya memperoleh gelar MA dalam bidang teologi dari Universitas London.
Ia dilatih terlebih dahulu sebagai guru sebelum menjadi pendeta Anglikan.
Tutu muncul sebagai tokoh kunci dalam perjuangan pembebasan pada pertengahan 1970-an.
Semangat , emosional, karismatik dan sangat pandai berbicara, dalam menentang Anti Apartheid, membuat dirinya menangkan hadiah Nobel perdamaian pada tahun 1984.
Ia dibenci oleh para pendukung rezim apartheid, yang melihatnya sebagai agitator dan pengkhianat.
Namun Tutu dilindungi tidak hanya oleh kecerdasan dan semangat tempurnya, tetapi juga oleh popularitas dan rasa hormatnya yang luar biasa.
Tutu selalu menjaga jarak dari Kongres Nasional Afrika (ANC), partai yang mempelopori gerakan pembebasan dan kini telah berkuasa di Afrika Selatan selama lebih dari 20 tahun.
Dia menolak untuk mendukung perjuangan bersenjatanya dan mendukung pemimpin tanpa syarat seperti Nelson Mandela.
Namun Tutu berbagi visi Mandela tentang masyarakat multiras di mana semua komunitas hidup bersama tanpa dendam atau diskriminasi atau dikreditkan dengan frase "bangsa pelangi" untuk menggambarkan visi ini.
Setelah pemilihan bebas pertama negara itu pada tahun 1994, Mandela, yang telah menjadi Presiden Afrika Selatan yang bebas, meminta Tutu untuk memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC).
Mandela juga memintan Tutu menjadi pemimpin audiensi kontroversial dan emosional mengenai pelanggaran hak asasi manusia di era apartheid.
Namun Tutu merasa pengalaman itu sangat traumatis. Dia sedih dan bingung dengan kritik ganas dari sayap kanan kulit putih, beberapa liberal arus utama dan ANC.
Kesaksian mengerikan yang dia dengarkan hari demi hari juga membawa tekanan emosional yang dalam.
Pemirsa TV bahkan menyaksikan Tutu yang tangguh dan cerdas itu meletakkan kepalanya di tangannya dan menangis. [Tio]